Rabu, 29 September 2010

Usaha dan Bisnis Rias Pengantin Tak Tersentuh Krisis



Menjadi pengantin kerap diibaratkan bak menjadi raja dan ratu sehari. Karena itu, momen bersejarah tersebut, haruslah dibuat seistimewa mungkin. Dari tata rias, busana, hingga perlengkapan pesta. Inilah yang mendorong pesatnya bisnis perias pengantin dan perlengkapannya, atau yang belakangan popular dengan sebutan bridal. Bahkan semakin banyaknya Sanggar Rias Pengantin

DI berbagai lokasi, terutama salon kecantikan, banyak ditemukan jasa perias pengantin. Dari yang berharga murah-meriah, terjangkau, hingga mahal sekali.

Semua memiliki pangsa pasar masing-masing. Pasalnya, menikah berikut pestanya bagi masyarakat Indonesia adalah kebutuhan.

Banyak yang sengaja menabung atau menyiapkan dana khusus untuk mewujudkan impian menjadi raja dan ratu sehari. Kalau ber-kocek tebal, para perias kondang bisa dilirik. Namun untuk mereka yang ber-kocek tipis, perias pengantin seadanya pun tak menjadi masalah.

Bagi Tien Santoso, masalah kocek bukanlah yang utama. Memang, untuk bisa menggunakan jasa perias pengantin kenamaan ini, setidaknya sang klien harus merogoh kocek Rp 10 juta.

Bahkan, menurut Tien, ia beberapa kali justru membebaskan sang klien dari keharusan membayar. Paling-paling, mereka tinggal membayar uang untuk biaya bunga saja.

"Malah, saya pernah membebaskan biaya sekaligus memberikan uang untuk biaya bulan madu. Habis ka-sihan sih. Klien ini sangat ingin dirias saya, tapi minim dana. Kebetulan jadwal saya kosong, ya sudah saya tangani. Jadi, kalau ada yang bilang klien saya kebanyakan adalah orang-orang kaya, itu tidak benar," lanjutnya.

Kebebasan untuk bernegosiasi juga yang diterapkan Yohannes yang kondang dengan usaha Yohannes Bridal. Dalam percakapan dengan Pembaruan baru-baru ini, Yohannes mengaku, meski memiliki berbagai paket rias dan busana pengantin yang berharga minimal Rp 12 juta, ia juga membolehkan kliennya untuk bernegosiasi.

"Saat krismon (krisis moneter, Red) tahun 1997 lalu, banyak klien yang sudah memesan dari jauh-jauh hari, lalu bernegosiasi mengenai harganya karena mereka terkena dampak krismon. Akhirnya, mereka menurunkan kualitas beberapa item dalam paket tersebut, seperti jas, kue, atau undangan.

Jika awalnya pesan paket seharga Rp 50 juta, mereka menurunkannya menjadi Rp 25 juta saja, misalnya. Jadi, jumlah klien tidak turun meski krismon. Hanya nominalnya saja.

"Kalau boleh dibilang, bisnis pengantin ini memang bisnis tanpa krisis," ujar Yohannes seraya tersenyum.

Untuk kalangan menengah bawah, harga yang ditawarkan Cagar Budaya cukup terjangkau. Hajjah Yayan, pemilik Cagar Budaya, mengaku fleksibel dalam menerapkan harga untuk para kliennya.

Untuk make up, baik Yohannes, Tien, maupun Hajjah Yayan sama-sama mengakui harus tetap mengikuti tren yang tengah berlangsung. Karena itu, mereka tidak segan-segan menimba ilmu tentang trend dan teknik make up terbaru agar tidak ketinggalan.

Tien misalnya, selalu memperbarui ilmu tata riasnya lewat buku. Apalagi, sebagai dosen mode dan sejarah tata rias pengantin Indonesia di Universitas Negeri Jakarta, ia harus paham betul mengenai segala hal tentang tata rias dan busana pengantin. Buku-buku mengenai topik itu lengkap tertata di rumahnya.

Selain itu, ia kerap bertukar informasi dengan penata rias lain yang ditemuinya saat bertandang ke suatu acara. Ia juga tak pelit dalam berbagi ilmu dengan penata rias lainnya.

sumber: suarapembaruan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar