Kamis, 30 September 2010

Penggunaan Bahasa Indonesia Mengalami Degradasi



Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dari tahun ke tahun mengalami degradasi. Degradasi penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya dilihat dari rendahnya siswa dan guru dalam melakukan interaksi proses pembelajaran di kelas, melainkan juga rendahnya hasil ujian nasional (UN) bahasa Indonesia bagi siswa dan uji kemahiran bahasa Indonesia (UKBI) bagi guru.

Kenyataan yang ironik itu diungkapkan Rektor Universitas Muhammadyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Suyatno, ketika menyampaikan orasi ilmiah saat ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu pendidikan bahasa, Kamis (20/8) di kampus Uhamka, Jakarta. Selain Suyatno, dua dosen lain yang dikukuhkan sebagai guru besar adalah Abdul Mad jid Latief bidang Ilmu Administrasi Pendidikan dan Sylviana Murni bidang manajemen pendidikan.

Dalam orasi berjudul Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan Guru Profesional , Suyatno menampilkan data terkini. Data laporan hasil ujian nasional SMP negeri dan swasta tahun 2008/2009 secara nasional , dari 3.441.815 orang peserta UN, peserta yang rentang nilainya 7,00 sampai 7,99 hanya 32,86 persen atau 1.131.121 peserta. Yang memperoleh nilai 10 hanya 0,02 persen (834 orang).

Sedangkan di tingkat SMA/MA hasil UN tahun 2008/2008, yang rentang nilainya 7,00 7, 99 adalah 40,6 persen atau 252.460 (jurusan IPA), 28,2 persen atau 240.815 (jurusan IPS), dan 30,7 persen atau 13.445 (jurusan bahasa). Yang meraih nilai 10 di jurusan IPA dan IPS tidak ada, sedangkan di jurusan bahasa ada 6 orang dari 43.688 peserta ujian. Untuk nilai bahasa Indonesia 0,01 sampai 5,99 cukup signifikan besarnya, yaitu 17,26 persen untuk jurusan IPA, 32,53 persen IPS dan 23,2 persen untuk jurusan bahasa.

Tidak hanya kemampuan berbahasa Indonesia anak didik yang rendah. Kemampuan bahasa Indonesia para guru juga rendah. Dari uji kemahiran bahasa Indonesia oleh Pusat Bahasa Depdiknas tahun 2008, dari 100 sampel hasil tes UKBI guru, hanya 9 orang dalam peringkat unggul, 49 madya, 41 semenjana, dan 1 marginal. Tidak ada predikat istimewa (816-900) dan sangat unggul (717-815).

Menurut Suyatno, rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia atau pendidikan bahasa akan sangat berdampak pada rendahnya kemampuan membaca dan kemampuan menulis. "Sangat jarang ditemukan siswa atau pun guru yang memiliki karya tulis yang berbobot dan memiliki nilai ilmiah dengan kualitas bahasa Indonesia yang tinggi," katanya.

Menurut pandangan Suyatno, guru-guru sekarang dan akan datang seharusnya berada pada minimal tingkatan madya (skor 465-592) agar dapat berdampak pada pembelajaran bahasa Indonesia yang menyenangkan dan mampu meningkatkan nilai UN bahasa Indonesia yang akan datang, sekaligus mengefektifkan proses pembelajaran yang ada.

"Seyogianya, kemampuan bahasa Indonesia yang baik atau unggul tidak hanya dimiliki guru-guru bahasa Indonesia, tapi juga guru-guru di luar bidang studi bahasa Indonesia. Mereka sejatinya juga Pembina bahasa Indonesia, sebab bahasa pengantar pembelajarannya menggunakan bahasa Indonesia," tambah Suyatno.

Pada dasarnya ukuran nilai harapan konsumen pengguna jasa
pendidikan bahasa terletak pada kinerja mutu layanan akademik. Mutu layanan akademik memegang peranan sangat penting dalam upaya memenangkan persaingan. "Meningkatkan persaingan suatu perguruan tinggi adalah menciptakan keunggulan berbasis organisasi pelajar," katanya.

"Dengan e-leraning sebagai bridging menciptakan sumber daya manusia berkualitas, profesional atau handal adalah salah satu modal utama terwujudnya clean dan good governance," ujarnya.

sumber: edukasi.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar